Di Pulau Flores dan Timor banyak ditemukan peninggalan-peninggalan pepurbakalaan yang diketahui dari laporan-laporan para peneliti asing
yang berada di daerah ini sebagai misionaris dari misi agama Katolik dan zending dari agama Protestan.
Di antara mereka terdapat ahli dalam bidang ethnologi dan ethnografi seperti Paul Arndt, hasil karyanya dapat dijumpai dalam beberapa
majalah, seperti Anthropos. Karangannya antara lain: “Die Religion der Ngadha”, Anthropos 24, 1929: 817-861; Anthropos 26, 1931: 353-405
dan 679-739; “Die Megalithen der Ngadha”, Anthropos 27, 1932: 11-63; Anthropos 32, 1937; 195-209 dan 347-377; “Deva das Höchste Wesen
der Ngadha”, Anthropos 31, 1936: 894-909; “Gesellschaftliche Verhaltnisse der Ngadha”, Studia Instituti Anthropos, Vol. 8, 1954; ” D i e Wirtsxhaftliche Verhaltnisse der Ngadha”, Annali Laterannensi
Vaticana 1963, Vol. X X V I I .
H.R. van Heekeren dan Basoeki pada tahun 1952 mengadakan penelitian di beberapa gua di daerah Kabupaten Manggarai dan Ngadha (Van Heekeren, 1972) dan membuat beberapa ulasan mengenai beberapa penemuan prasejarah. (Van Heekeren, 1955-1957).
Van Bekkum menulis tentang benda-benda perunggu dan peninggalan megalitik di daerah Kabupaten Manggarai (Verhoeven, 1968). R.P. Soejono membuat suatu ikhtisar hasil penelitian prasejarah Flores selama masa tahun 1960-1958 dimuat dalam majalah Medan ilmu Pengetahuan, 1961.
T h . Verhoeven melakukan penelitian prasejarah di daerah ini sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 1970, hasilnya dapat dijumpai dalam majalah Anthropos (Verhoeven, 1968)
Survei atau penelitian di daerah Kabupaten Ngada, meliputi pendokumentasian dan peninjauan langsung (on the spot) ke situs-situs yang terletak di dalam 4 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Aimere, Kecamatan Bajawa, Kecamatan Boawae dan Kecamatan Wogomangulewa (Golewa) (Peta 4).
Survei di Kecamatan Aimere merupakan peninjauan khusus terhadap kepurbakalaan dari tradisi megalitik di kampung Bena. Kemudian survei
di Kecamatan Bajawa, meliputi pendokumentasian koleksi Pemerintah Daerah Kabupaten Ngadha, peninjauan ke situs-situs Menge, Nua Gae, Watu Ata, dan Watulewa serta kampung Tiwu di Desa Masu (Soa).
Selanjutnya survei di Kecamatan Boawae meliputi pendokumentasian terhadap kepurbakalaan dari tradisi megalitik yang terdapat di kampung Natamere.
Lalu survei yang dilakukan di Kecamatan Golewa meliputi pendokumentasian dan pengamatan di Bata Dolu, Tua Woi, Wolo Pore,
Wolo Sasa, Belu, Gisi, Ture Togo, dan Doka. Hampir semua situs yang dikunjungi merupakan situs dengan peninggalan-peninggalan tradisi megalitik atau dalam beberapa hal masih mendukung tradisi tersebut.
khusus untuk meninjau perkampungan megalitik di Bena yang struktur perkampungan maupun kepercayaan menunjukkan adanya persamaan dengan struktur perkampungan maupun kepercayaan dalam tradisi megalitik.
Kampung Bena masuk wilayah administratif Desa Tiwo Riwu, Kecamatan Jerebuu (dulu Aimere). Tidak sebagaimana halnya kampung-kampung tradisional di daerah Ngadha, maka kampung
di Bena, tidak mempunyai halaman pusat (kisanata). Sebagai sentral tempat dilangsungkannya upacara-upacara suku di Kampung Bena ini berupa tempat yang berbentuk punden berundak, yang terdiri dari 4 (empat) tingkat pada tampak depan dan 2 (dua) tingkat pada bagian samping.
Punden ini berukuran 14,40 x 44,40 meter dengan orientasi utara-selatan. Kompleks ini terletak di selatan Kecamatan Bajawa, yaitu di bukit yang masuk gugusan gunung Inerie (2.200 m), di sebelah
barat mengalir sungai kecil yang berasal dari suatu sumber a i r panas.
Pada kompleks ini terdapat beberapa kekecualian. Misalnya, hampir kebanyakan kampung tradisional di Ngadha berorientasi arah barat-timur, sedangkan di Bena, berorientasi utara-selatan.
Pengecualian yang lain, biasanya ulunua merupakan bagian kampung yang lebih tinggi dari pada wenanua namun yang terlihat di Bena adalah sebaliknya, (Foto 13).
Pada setiap tingkat (undak) terdapat ngadhu (simbol laki-laki) dan bhaga (simbol wanita) miniaturnya, sedangkan pada tingkat teratas di sisi utaranya ditegakkan papan-papan batu (slabstone).
Pada tingkat itu terdapat pula dolmen-dolmen yang berfungsi sebagai kuburan. Susunan batu ini juga diberi tonggak batu di ujung bagian selatan. Secara keseluruhan susunan batu yang berfungsi sebagai
kuburan itu disebut sebagai ture (Foto 14).
Selanjutnya temuan artefak yang dikumpulkan dari daerah Kabupaten Ngadha meliputi benda logam berbentuk gelang, yang ditemukan di dalam ture dan oleh penduduk setempat disebut para mata.
Nama atau sebutan ini diberikan, karena menurut informasi dan mythos yang sering dituturkan secara turun temurun, gelang tersebut juga
mempunyai khasiat menyembuhkan penyakit mata. Dengan cara menempelkan gelang itu pada mata yang sakit, maka lama kelamaan penyakit matanya akan sirna.
Artefak lain terdiri dari batubatu bulat jenis batuan andesitik yang dikumpulkan dari Tua Woi dan Wogo Lama, Kecamatan Golewa
berjumlah 3 buah. Dari bekas pemakaian yang berupa gumpilan di pinggir-pinggirnya yang bulat, dapat diduga bahwa batu bulat tersebut paling sedikit sudah digunakan di masa lampau sebagai batu pukul atau senjata, mungkin semacam peluru untuk dilemparkan pada obyek (misalnya binatang buruan).
Selain batu bulat, di daerah Kabupaten Ngadha ditemukan juga pecahan (kereweng) gerabah, yang dikumpulkan dari situs Nua Gae. Kereweng-
kereweng tersebut ada yang berhias.
Pola hiasnya berbentuk garis-garis lurus, garis sejajar (horisontal) yang dikerjakan dengan teknik gores. Ketebalan rata-rata dari kereweng tersebut 6—12 milimeter.
Hasil pengamatan sementara dapat disimpulkan bahwa kereweng tersebut, baik yang berhias maupun yang polos merupakan bagian dari
wadah. Apakah wadah yang dimaksud itu berbentuk periuk atau bentuk lainnya, diperlukan analisis yang lebih mendalam terhadap sampel-sampel tersebut.
Data kuantitatif tentang temuan-temuan yang berhasil dikumpulkan dapat dilihat pada tabel Di samping itu di daerah Kabupaten Ngada
ditemukan juga artefak yang dibuat dari bahan kulit moluska.
Unsur-unsur tradisi megalitik Ngadha yang akan diketengahkan dalam uraian berikut merupakan sampel dari tradisi megalitik Ngadha baik yang telah ditinggalkan oleh pendukungnya maupun tradisi megalitik yang masih terus dilaksanakan atau diselenggarakan sampai sekarang.
Dua sampel tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran fungsional dari berbagai monumen megalitik. Dengan demikian
maka terbuka kemungkinan untuk dapat mengerti berbagai fungsi monumen yang serupa yang ada di tempat-tempat lain.
Kebudayaan megalitik Ngadha sebagaimana kebudayaan megalitik di tempat-tempat lainnya, sering ditampilkan dalam atau melalui struktur bangunan batu.
Salah satu jenis struktur bangunan itu dikenal dengan nama bangunan punden berundak. Punden berundak seringkah dihubungkan dengan fungsifungsi ritus pada leluhur.
Hasil pengamatan berbagai peninggalan tradisi megalitik di daerah Kabupaten Ngadha, ternyata memberikan data yang dapat memperluas pengertian sebelumnya.
Data yang diamati dari daerah Kabupaten Ngadha, berupa dolmen, menhir, punden berundak, peti kubur batu, dan lumpang batu. Hasil pengumpulan data terhadap tradisi megalitik yang masih terus diselenggarakan oleh pendukungnya di dalam beberapa hal dapat digunakan sebagai data analog terhadap monumen-monumen megalitik yang telah ditinggalkan oleh pendukungnya.
Berikut ini beberapa ilustrasi yang mungkin dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kehidupan budaya megalitik di daerah Ngadha. Ilustrasi ini terdiri dari 2 (dua) lokasi tradisi megalitik yang masih dalam konteks sistem dengan pendukungnya serta dua lokasi tradisi megalitik yang telah ditinggalkan (abandoned)
Kampung Bena
Perkampungan ini terletak di sebelah selatan kecamatan Bajawa termasuk wilayah administratif Kecamatan Jerebuu (dulu Aimere), menempati areal bukit yang masuk gugusan bukit di lereng-lereng
gunung Inerie (2.200 m).
Di sebelah barat perkampungan ini mengalir sungai kecil yang bersumber pada mata-air panas.
Perkampungan Bena memiliki denah memanjang membujur arah utara-selatan, bertingkattingkat, makin ke atas makin menyempit dan secara keseluruhan perkampungan Bena merupakan kampung dengan susunan rumah yang membentuk punden berundak berukuran besar.
Pada setiap tingkat terdapat gerbang dan pada setiap gerbang didirikan menhir bersisian tepat di ambang pintu masuk. Pada setiap tingkat terdapat Ngadhu dan Bhaga.
Makin ke atas makin sakral atau setidaknya merupakan tempat meletakkan lambang-lambang tokoh penting atau pendahulu, yang sekaligus merupakan areal penempatan lambang-lambang penting yang dimiliki oleh suku (dalam hal ini klen).
Denah utara-selatan perkampungan Bena agaknya merupakan suatu gejala yang menyimpang (anomali), mengingat bahwa hampir seluruh lokasi yang dikunjungi di Ngadha, perkampungannya berdenah dengan arah bujur barat-timur.
Tetapi mungkin hal ini dapat dimengerti mengingat perkampungan Bena menempati areal bukit dan bukan tanah datar sehingga denah perkampungannya secara teknis disesuaikan dengan keadaan permukaan tanah yang ada.
Hal yang menarik lainnya adalah penempatan wena-nua yang lebih tinggi daripada ula-nua, sedangkan di Ngadha, biasanya ula-nua ditempatkan lebih tinggi daripada wena-nua.
Di perkampungan Bena terdapat tradisi pembuatan gerabah yang dibuat dengan tangan dan teknik tatap-pelandas (paddle-anvil). Selain itu di kampung ini terdapat tradisi pembuatan kain songke (lue-lawo).
Membuat gerabah, menenun songke dan beberapa kegiatan lainnya, dikerjakan oleh kaum wanita. Kaum wanita bersama-sama kaum lelaki juga bekerja di ladang. Prinsip keturunan yang berlaku di kampung Bena adalah prinsip keturunan garis ibu (matrilineal).
Bangunan .struktur punden berundak di Bena pada hakekatnya adalah bangunan struktur yang terdiri dari rumah-rumah, penempatannya bertingkat dan makin ke atas makin menyempit, selain tentu saja berdenah persegi. Di perkampungan ini terdapat batu-batu tegak yang berada dalam satu hubungan dengan batu bersusun, yang berfungsi sebagai kubur (ture-lengi). Kubur ini berarah bujur utara-selatan dengan batu tegak (menhir) di sisi selatan.
Referensi: Azis, R.B.S., Awe, R. D. 1984. Laporan Survei di Flores dan Timor Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala